MASYARAKAT
MULTIKULTURAL INDONESIA
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Akhlak / Tasawuf
Dosen Pengampu: Bpk.
Masrur, S. Ag., M.Si
Disusun Oleh: Panji siyamto
PROGRAM
STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
MULTIKULTURALISME
Pemahaman Multikulturalisme:
1. Multikulturalisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan
kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan (multikultural) yang ada dalam
kehidupan masyarakat menyangkut nilai nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik
yang mereka anut. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan
dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (“politics of recognition”).
2. Multikulturalisme mencakup
gagasan, cara pandang,
kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk
dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk
mengembangkan semanga kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan
kemajemukan tersebut.
3. Multikulturalisme bertentangan
dengan monokulturalisme dan asimilasi
yang telah menjadi norma
dalam paradigma negara-bangsa
(nation-state) sejak awal
abad ke-19. Monokulturalisme
menghendaki adanya kesatuan budaya
secara normatif. Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk
bersatu antara dua atau lebih kebudayaan
yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta
sebuah kebudayaan baru. Sedangkan multikulturalisme tidak mencipta kebudayaan-kebudayaan
baru, tetapi menghormati adanya (puncak) kebudayaan kebudayaan (di daerah).
4. Kesadaran
multikultur bangsa Indonesia, sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik
Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut pernah dipendam atas nama kesatuan dan persatuan.
Paham monokulturalisme sempat ditekan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan
multikulturalisme bangsa Indonesia rendah. Ada
juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas, dan
mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan
masalah asli atau tidak asli. Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang
awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi ternyata
hanya berlaku pada kelompok tertentu dan bertentangan dengan
perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun
Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan
terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Multikulturalisme untuk NKRI
1. Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks,
dengan berbagai keanekaragaman tersebut, masyarakat kita dikenal dengan istilah masyarakat multikultural. Bila
kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup
dan bekerja sama, sehingga mampu mengorganisasikan dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu, maka konsep masyarakat tersebut jika
digabungkan dengan multikultural
memiliki makna yang
luas untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
2. Model
masyarakat multikultural ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para
pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain kebudayaan bangsa, sebagaimana yang
terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia)
adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Dalam model masyarakat
multikultural ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah
kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut, yang coraknya seperti
sebuah mozaik. Didalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat
yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar,
mempunyai kebudayaan seperti sebuah mozaik tersebut.
3. Pada
dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari
kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut
kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut
dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat
tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan
mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan
kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
4. Masyarakat
multikultural ini harus dipahami dan memaknai dalam konteks masa kini dan masa
depan yang harus terus
ditanamkan. Masyarakat
multikultural dengan semboyan
Bhineka Tunggal Ika adalah salah satu dari empat pilar kehidupan bernegara
yakni Pancasila, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI
dan Bhineka Tunggal Ika. Pancasila adalah falsafah dan dasar negara yang
menjadi landasan ideal bangsa Indonesia. UUD 1945 adalah landasarn
konstitusional yang mendasari penyelenggaraan kehidupan, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. NKRI adalah pemersatu bangsa dan Bhineka Tunggal Ika
adalah perekat persatuan dalam untaiam kemajemukan.
5. Inti dari cita-cita tersebut adalah:
a) sebuah
masyarakat sipil demokratis,
b) ditegakkannya
hukum untuk supremasi keadilan,
c) pemerintahan
yang bersih dari KKN,
d) terwujudnya
keteraturan sosial dan rasa aman masyarakat yang menjamin kelancaran
produktivitas warga masyarakat, dan
e) kehidupan
ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bangunan Indonesia Baru dari cita-cita reformasi
adalah sebuah “masyarakat multikultural
Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak “masyarakat” (plural society), sehingga corak
masyarakat Indonesia yang Bhinneka
Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.
Tantangan
1. Akhir-akhir
ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat terasa kian meningkat. Terutama konflik
sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota
masyarakat, meskipun tidak
menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara
masyarakat dan negara. Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses
interaksi yang alamiah. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial
yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif,
tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis. Itulah yang banyak kita
jumpai didalam era reformasi ini yang sangat
memperihatinkan.
2. Di
era demokratisasi yang mengagungkan
keterbukaan, sejumlah
konflik sosial dalam
masyarakat telah berubah
menjadi destruktif bahkan cenderung
anarkhis. Kasus Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, Papua, dan
berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya.
Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak
boleh dianggap remeh dan harus segera diatasi secara proporsional agar
tidak menciptakan disintergrasi bangsa.
3. Apakah
fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental dengan
motif tertentu dan
kepentingan sesaat, ataukah justru merupakan
budaya dalam masyarakat
yang bersifat laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan
kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan.
4. Ketidakadilan masyarakat semakin terasa
manakala hidup makin sulit, pekerjaan
susah didapat oleh
sebagian masyarakat yang menimbulkan kemiskinan,
sementara ada masyarakat
yang hidup lebih dari
berkecukupan,--menimbulkankecemburuan sosial.
Karakteristik Indonesia
Sebagai Masyarakat Multikultur
Bangsa Indonesia
memilikkibanyak budaya yang dapat memperkaya khasanah bubaya nasional kita.
Kita perlu memperoleh gambaran umum tentang kondisi ke-Indonesia-an yang bergam
dan gambaran yang lebih spesifiktentang berbagai kelompok etnis dan budaya yang
ada di tanah air ini. Dalam subunit 3.2 ini kita akan mengkaji beberapa etnis
sebagai identitas social budaya. Karena keterbatasan tempat, waktu dan
kemampuan penulis, maka disajikan mangenai Cina, Jawa dan Bali. Mengapa dipilih
Cina ? Karena sebagian jumlah penduduk Indonesia berasal dari daerah ini.
Kerena jumlah penduduknya banyak maka tentunya budayanya juga mempunyai banyak
pengikut. Mengapa Bali ? Karena Bali sangat dikenal sebagai tempat pariwisata budaya
dunia. Bahkan lebih dikenal daripada Indonesia sendiri.
Karakteristik Indonesia
Indonesia memiliki
karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam segenap segi kehidupan, termasuk
dalam bidang pendidikan. Karakteristik itu bisa dalam bentuk :
1. Jumlah penduduk yang besar dengan ketrampilan yang rendah. Indonesia yang jumlah penduduknya 203.456.000 jiwa dapat menjadi petensi yang besar dalam pengadaan tenaga yang besar. Namun jumlah yang besar saja tidak mencukupi. Jumlah yang besar itu perlu disertai dengan ketrapilan yang memadai. Negara Indonesia termasuk Negara yang tenaga kerjanya sangat dibutuhkan di negara lain dan lebih disukai negara lain. Karena tenaga kerja Indonesia memiliki budaya yang santun dan sabardibandingkan dengan tenaga kerja dari Negara lain. Namun karena kemampuannya rendah maka tenaga kerja Indonesia itu hanya berada pada sektor-sektor yang tidak begitu menguntungkan dari segi upah. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persebaran penduduk yang tidak merata.
2. Wilayah yang luas.
Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km persegi yang menduduki urutan 15
terbasar dunia.
3. Posisi silang. Indonesia
terletak diantara dua Samudra ( Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ) dan dua
bunua ( Asia dan Australia ) karena posisi silang ini, maka Indonesia menjadi
tempat pertemuan berbagai budaya dunia. Sehingga hal ini memunculkan varian
dari budaya dari berbagai negara. Sejarah membuktikan.
4. Kekayaan alam dan daerah
tropis. Karena pada daerah tropis yang hanya mengenal dua musim( penghujan dan
kamarau ) maka mungkin saja membuat masyarakat ini memiliki budaya yang santai
dan kurang berwawasan ke depan. Ada pepatah budaya Jawa yang mengatakan “ono
dino ono upo” ( ada hari ada nasi artinya tiada hari yang membuat kita tidak
bisa makan ). Indonesia mimeliki kekayaan yang melimpah namun kekayaan ini
masih merupakan kekayaan yang potensial, belum bersifat efektif. Sehingga
Indonesia menduduki kelompok negara yang masih miskin dari segi pendapat
perkapita pertahun warganya. Sungguh ironis, Negara memiliki kekayaan besar
nmun warga masyarakatnya miskin. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilannya
masih rendah.
5. Jumlah pulau yang
banyak. Amerika Serikat memang memiliki wilayah yang luas, namun lebih berwajud
benua (kontinen), sedangkan pulau Indonesia itu berjumlah lebih dari 17.000
pulau. Jumlah yang banyak ini tentunya membutuhkan perjuangan pelayanan yang
ekstra keras dari pemerintah untuk dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia.
6. Persebaran pulau.
Persebaran pulau yang “terhalang” oleh air laut ini menimbulkan kendala
tersendiri dalam peningkatan taraf hidup maupun pembinaan pendidikan. Bahkan
warga masyarakat dari Talaut ( Sulawesi ) harus membutuhkan waktu selama dua minggu
hingga satu bulan untuk mengurus surat nikah. Jadi ada kendala geografis yang
membuat masyarakat di berbagai tenmpat di Indonesia ini kurang bisa mwngatasi
dari daerah lain yang lebih maju.
7. Kualitas hudup yang
tidak seimbang. Kesenjangan sosial ekonomi bukan saja antar daerah namun antar
wilayah yang sama. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemburuan social bagi
kelompok yang tersisih dan tinggal di daerah-daerah kumuh dan kantong-kantong
kemiskinan. Sehingga kondisi ini sering membuat mereka mudah tersulut dengan
perkelahian, pertikaian dan bentrokkan.
8. Perbedan dan kekayaan
etnis. Adanya perbedaan ini dapat memperkaya budaya antar daerah dan dapat
menjadi mosaic yang indah. Namun perlu diwaspadai bahwa perbedaan ini dapat
dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan politik
adu domba yang sudah terlalu sering kita alami selama sejarah panjang bangsa
ini.
Multikulturalisme
Pengertian
multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam, multikulturalisme
pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap
realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950
di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme”
merupakan deviasi kata multicultural kamus ini meyetir dari surat kabar di
Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai
masyarakat multicultural dan multilingual.
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian
yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang
berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya. Istilah
plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar
pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut
memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian
tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama,
kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi
keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama
multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang berbeda
Dalam
filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari dua filosof kontemporer
nyakni, John Rawls dari Harvard University dan Charles Taylor dari McGill
University. Rawls adalah penganut liberalisme terutama dalam bidang etika dan
Taylor dalam filsafat budaya dan politik. Rawls mengemukakan teorinya dalam
bukunya A Theory Justice, yang berusaha menghidupkan kembali “social contrac”
dan melanjutkan kategori imperatif Kant, serta mengemukakan pemikiran
alternative dari utilitarianisme. Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin
“the greatest good for the greates number” yang terkenal dengan prinsip
demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada “self interest” dan aspirasi
pengenal dari seseorang. Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan
sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak
mengetahui posisi memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua
prinsip;
pertama,
setiap manusia harus memiliki maksimum kebebasan individual dibandingkan orang
lain. Kedua, setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan
kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan. Menurutnya institusional
yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokerasi konstitusional. Dalam
bukunya Taylor membahas tentang The Politics of Recognition, berisi tentang
pandangan multikulturalisme mulai berkembang dengan pesat, bukan hanya dalam
ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Jurgen Habermas
menanggapi bahwa pelindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam
demokerasi konstitusional. Kita harus menyadari persamaan hak dibawah hukum
harus disertai dengan kemampuan kita adalah penulis (authors) dari hukum-hukum
yang mengikat kita. Habermas menganjurkan agar supaya warga negara dipersatukan
oleh “mutual respect” terhadap hak orang lain demokerasi konstitusioanal juga
memberikan kepada kebudayaan minoritas, memperoleh hak yang sama untuk
bersama-sama dengan kebudayaan