Selasa, 01 Januari 2013

MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA


MASYARAKAT MULTIKULTURAL INDONESIA

logo
Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak / Tasawuf

Dosen Pengampu: Bpk. Masrur, S. Ag., M.Si
Disusun Oleh: Panji siyamto


PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

MULTIKULTURALISME

Pemahaman Multikulturalisme:
1.      Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan tentang  ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme dapat juga dipahamni sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (“politics  of recognition”).
2.      Multikulturalisme  mencakup  gagasan,  cara  pandang,  kebijakan, penyikapan  dan  tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semanga kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan  tersebut.
3.      Multikulturalisme  bertentangan  dengan  monokulturalisme  dan asimilasi  yang  telah menjadi  norma  dalam  paradigma  negara-bangsa  (nation-state)  sejak  awal  abad  ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya  kesatuan budaya secara normatif. Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau  lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. Sedangkan multikulturalisme tidak mencipta kebudayaan-kebudayaan baru, tetapi menghormati adanya (puncak) kebudayaan  kebudayaan (di daerah).
4.      Kesadaran multikultur bangsa Indonesia, sebenarnya sudah muncul sejak Negara Republik Indonesia terbentuk. Pada masa Orde Baru, kesadaran tersebut pernah  dipendam atas nama kesatuan dan persatuan. Paham monokulturalisme sempat ditekan. Akibatnya sampai saat ini, wawasan multikulturalisme bangsa Indonesia rendah. Ada  juga pemahaman yang memandang multikultur sebagai eksklusivitas, dan mempertegas batas identitas antar individu. Bahkan ada yang juga mempersoalkan masalah asli atau tidak asli. Multikultur baru muncul pada tahun 1980-an yang awalnya mengkritik penerapan demokrasi. Pada penerapannya, demokrasi  ternyata  hanya berlaku pada kelompok tertentu dan bertentangan dengan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara membangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan tatanan kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru.
Multikulturalisme untuk NKRI
1.      Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks, dengan berbagai keanekaragaman tersebut, masyarakat kita dikenal  dengan istilah masyarakat multikultural. Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mampu mengorganisasikan dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu, maka konsep masyarakat tersebut  jika  digabungkan  dengan  multikultural  memiliki  makna  yang  luas untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
2.      Model masyarakat multikultural ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Dalam model masyarakat multikultural ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut, yang coraknya seperti sebuah mozaik. Didalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, mempunyai kebudayaan seperti sebuah mozaik tersebut.
3.      Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut  terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
4.      Masyarakat multikultural ini harus dipahami dan memaknai dalam konteks masa kini dan masa depan yang  harus  terus  ditanamkan. Masyarakat  multikultural  dengan  semboyan  Bhineka Tunggal Ika adalah salah satu dari empat pilar kehidupan bernegara yakni Pancasila, Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Pancasila adalah falsafah dan dasar negara yang menjadi landasan ideal bangsa Indonesia. UUD 1945 adalah landasarn konstitusional yang mendasari penyelenggaraan kehidupan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. NKRI adalah pemersatu bangsa dan Bhineka Tunggal Ika adalah perekat persatuan dalam untaiam kemajemukan.
5.       Inti dari cita-cita tersebut adalah:
a)      sebuah masyarakat sipil demokratis,
b)      ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan,
c)      pemerintahan yang bersih dari KKN,
d)     terwujudnya keteraturan sosial dan rasa aman masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan
e)      kehidupan ekonomi yang mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bangunan Indonesia Baru dari cita-cita reformasi adalah sebuah “masyarakat  multikultural Indonesia” dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak  “masyarakat” (plural society), sehingga corak masyarakat Indonesia yang Bhinneka  Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya tetapi  keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Tantangan
1.      Akhir-akhir ini, intensitas dan ekstensitas konflik sosial di tengah-tengah masyarakat  terasa kian meningkat. Terutama konflik sosial yang bersifat horisontal, yakni konflik yang berkembang di antara anggota masyarakat,  meskipun  tidak  menutup kemungkinan timbulnya konflik berdimensi vertikal, yakni antara masyarakat dan negara. Konflik sosial dalam masyarakat merupakan proses interaksi yang alamiah. Hanya saja, persoalannya menjadi lain jika konflik sosial yang berkembang dalam masyarakat tidak lagi menjadi sesuatu yang positif, tetapi berubah menjadi destruktif bahkan anarkis. Itulah yang banyak kita jumpai didalam era reformasi  ini yang sangat memperihatinkan.
2.      Di era demokratisasi  yang  mengagungkan  keterbukaan,  sejumlah konflik  sosial  dalam  masyarakat  telah  berubah  menjadi  destruktif bahkan  cenderung  anarkhis.  Kasus  Ambon, Poso, Maluku, GAM di Aceh, Papua, dan berbagai kasus yang menyulut kepada konflik yang lebih besar dan berbahaya. Konflik sosial berbau SARA (agama) ini tidak  boleh dianggap remeh dan harus segera diatasi secara proporsional agar tidak menciptakan disintergrasi bangsa.
3.      Apakah fenomena konflik sosial ini merupakan peristiwa yang bersifat insidental  dengan  motif  tertentu  dan  kepentingan  sesaat,  ataukah justru  merupakan  budaya  dalam  masyarakat  yang  bersifat  laten. Realitas empiris ini juga menunjukkan kepada kita bahwa masih ada problem yang mendasar yang belum terselesaikan.
4.       Ketidakadilan masyarakat semakin terasa manakala hidup makin sulit, pekerjaan  susah  didapat  oleh  sebagian  masyarakat  yang menimbulkan  kemiskinan,  sementara  ada  masyarakat  yang  hidup lebih dari berkecukupan,--menimbulkankecemburuan sosial. 

Karakteristik Indonesia Sebagai Masyarakat Multikultur
Bangsa Indonesia memilikkibanyak budaya yang dapat memperkaya khasanah bubaya nasional kita. Kita perlu memperoleh gambaran umum tentang kondisi ke-Indonesia-an yang bergam dan gambaran yang lebih spesifiktentang berbagai kelompok etnis dan budaya yang ada di tanah air ini. Dalam subunit 3.2 ini kita akan mengkaji beberapa etnis sebagai identitas social budaya. Karena keterbatasan tempat, waktu dan kemampuan penulis, maka disajikan mangenai Cina, Jawa dan Bali. Mengapa dipilih Cina ? Karena sebagian jumlah penduduk Indonesia berasal dari daerah ini. Kerena jumlah penduduknya banyak maka tentunya budayanya juga mempunyai banyak pengikut. Mengapa Bali ? Karena Bali sangat dikenal sebagai tempat pariwisata budaya dunia. Bahkan lebih dikenal daripada Indonesia sendiri.
Karakteristik Indonesia
Indonesia memiliki karakteristik yang perlu dipertimbangkan dalam segenap segi kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Karakteristik itu bisa dalam bentuk :

1. Jumlah penduduk yang besar dengan ketrampilan yang rendah. Indonesia yang jumlah penduduknya 203.456.000 jiwa dapat menjadi petensi yang besar dalam pengadaan tenaga yang besar. Namun jumlah yang besar saja tidak mencukupi. Jumlah yang besar itu perlu disertai dengan ketrapilan yang memadai. Negara Indonesia termasuk Negara yang tenaga kerjanya sangat dibutuhkan di negara lain dan lebih disukai negara lain. Karena tenaga kerja Indonesia memiliki budaya yang santun dan sabardibandingkan dengan tenaga kerja dari Negara lain. Namun karena kemampuannya rendah maka tenaga kerja Indonesia itu hanya berada pada sektor-sektor yang tidak begitu menguntungkan dari segi upah. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia, khususnya wanita banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Persebaran penduduk yang tidak merata.

2. Wilayah yang luas. Indonesia memiliki wilayah seluas 1.922.570 km persegi yang menduduki urutan 15 terbasar dunia.

3. Posisi silang. Indonesia terletak diantara dua Samudra ( Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ) dan dua bunua ( Asia dan Australia ) karena posisi silang ini, maka Indonesia menjadi tempat pertemuan berbagai budaya dunia. Sehingga hal ini memunculkan varian dari budaya dari berbagai negara. Sejarah membuktikan.

4. Kekayaan alam dan daerah tropis. Karena pada daerah tropis yang hanya mengenal dua musim( penghujan dan kamarau ) maka mungkin saja membuat masyarakat ini memiliki budaya yang santai dan kurang berwawasan ke depan. Ada pepatah budaya Jawa yang mengatakan “ono dino ono upo” ( ada hari ada nasi artinya tiada hari yang membuat kita tidak bisa makan ). Indonesia mimeliki kekayaan yang melimpah namun kekayaan ini masih merupakan kekayaan yang potensial, belum bersifat efektif. Sehingga Indonesia menduduki kelompok negara yang masih miskin dari segi pendapat perkapita pertahun warganya. Sungguh ironis, Negara memiliki kekayaan besar nmun warga masyarakatnya miskin. Hal ini karena pengetahuan dan ketrampilannya masih rendah.

5. Jumlah pulau yang banyak. Amerika Serikat memang memiliki wilayah yang luas, namun lebih berwajud benua (kontinen), sedangkan pulau Indonesia itu berjumlah lebih dari 17.000 pulau. Jumlah yang banyak ini tentunya membutuhkan perjuangan pelayanan yang ekstra keras dari pemerintah untuk dapat melayani seluruh masyarakat Indonesia.
6. Persebaran pulau. Persebaran pulau yang “terhalang” oleh air laut ini menimbulkan kendala tersendiri dalam peningkatan taraf hidup maupun pembinaan pendidikan. Bahkan warga masyarakat dari Talaut ( Sulawesi ) harus membutuhkan waktu selama dua minggu hingga satu bulan untuk mengurus surat nikah. Jadi ada kendala geografis yang membuat masyarakat di berbagai tenmpat di Indonesia ini kurang bisa mwngatasi dari daerah lain yang lebih maju.

7. Kualitas hudup yang tidak seimbang. Kesenjangan sosial ekonomi bukan saja antar daerah namun antar wilayah yang sama. Kondisi ini dapat menimbulkan kecemburuan social bagi kelompok yang tersisih dan tinggal di daerah-daerah kumuh dan kantong-kantong kemiskinan. Sehingga kondisi ini sering membuat mereka mudah tersulut dengan perkelahian, pertikaian dan bentrokkan.

8. Perbedan dan kekayaan etnis. Adanya perbedaan ini dapat memperkaya budaya antar daerah dan dapat menjadi mosaic yang indah. Namun perlu diwaspadai bahwa perbedaan ini dapat dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan politik adu domba yang sudah terlalu sering kita alami selama sejarah panjang bangsa ini.

Multikulturalisme
Pengertian multikulturalisme diberikan oleh para ahli sangat beragam, multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keagamaan yang pluralis dan multikultural yang ada dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata multicultural kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multilingual.
 Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tradisonal tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama; pertama, kebutuhan terhadap pengakuan (the need of recognition). Kedua, legitimasi keragaman budaya atau pluralisme budaya. Dalam gelombang pertama multikulturalisme yang esensi terhadap perjuangan kelakuan budaya yang berbeda
Dalam filsafat multikulturalisme tidak dapat lepas dari dua filosof kontemporer nyakni, John Rawls dari Harvard University dan Charles Taylor dari McGill University. Rawls adalah penganut liberalisme terutama dalam bidang etika dan Taylor dalam filsafat budaya dan politik. Rawls mengemukakan teorinya dalam bukunya A Theory Justice, yang berusaha menghidupkan kembali “social contrac” dan melanjutkan kategori imperatif Kant, serta mengemukakan pemikiran alternative dari utilitarianisme. Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin “the greatest good for the greates number” yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada “self interest” dan aspirasi pengenal dari seseorang. Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip;
pertama, setiap manusia harus memiliki maksimum kebebasan individual dibandingkan orang lain. Kedua, setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan. Menurutnya institusional yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokerasi konstitusional. Dalam bukunya Taylor membahas tentang The Politics of Recognition, berisi tentang pandangan multikulturalisme mulai berkembang dengan pesat, bukan hanya dalam ilmu politik tetapi juga dalam bidang filsafat dan kebudayaan. Jurgen Habermas menanggapi bahwa pelindungan yang sama dibawah hukum saja belum cukup dalam demokerasi konstitusional. Kita harus menyadari persamaan hak dibawah hukum harus disertai dengan kemampuan kita adalah penulis (authors) dari hukum-hukum yang mengikat kita. Habermas menganjurkan agar supaya warga negara dipersatukan oleh “mutual respect” terhadap hak orang lain demokerasi konstitusioanal juga memberikan kepada kebudayaan minoritas, memperoleh hak yang sama untuk bersama-sama dengan kebudayaan