Senin, 07 November 2011

Sosiologi Antara Teknokrasi Dan Idiologi


Sosiologi Antara Teknokrasi Dan Idiologi
Untuk memahami sebuah istilah, umumnya orang memakai etimologi. Teknokrasi secara etimologis berasal dari dua kata Yunani yaitu thekne dan kratein. Aristoteles mengartikan thekne sebagai kegiatan/ketrampilan teknis/pertukangan belaka.[1]
Sementara kratein berarti pemerintahan. Arti pemerintahan di sini dibatasi secara sangat sederhana sebagai orang atau sekelompok orang yang mendapat hak untuk mengatur/mengelolah suatu bentuk kehidupan bersama, seperti masyarakat atau negara. Berkaitan dengan itu, istilah teknokrasi adalah pemerintahan yang di dalam kegiatan mengatur/mengelolah negara dan atau masyrakat didasarkan atas ketrampilan teknis.[2] Atau dalam rumusan lain, teknokrasi seperti yang didefenisikan oleh Webster, adalah “the management of society by technical experts.”[3]
Bagaimana pun juga defenisi etimologis ini belumlah menjelaskan secara memadai perihal teknokrasi. Kita akan coba memahami tema ini dengan melihat fenomena-fenomena historis yang memungkinkan lahirnya teknokrasi dalam masyarakat/negara.
Kemunculan teknokrasi dapat dilacak sampai ke masa renaissance, yaitu suatu gerakan sosial yang ingin mengembalikan bentuk dan nilai klasik yang dianggap sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Yang dimaksud adalah kebebasan manusia di dalam menjalankan kehidupannya. Manusia adalah subjek yang rasional, otonom dan bebas memperkrasai setiap tindakannya.[4] Suatu upaya melawan theosentrisme Gereja dan menghidupkan suatu anthropo-sentrisme secara absolut.
Cita-cita renaissance ini kemudian diadopsi sebagai konsep humanisme modern. Dengan kata lain, cita-cita (awal) modern adalah hendak menciptakan suatu masyarakat yang lebih baik menurut tendensi renaissance di atas. Dalam artian ini, ide kemajuan (the idea of progress) yang ditawarkan modernisme merahimi berkah. Kemajuan (progress) adalah upaya untuk membawa masyarakat dari suatu titik yang tidak berbentuk dan bernilai manusiawi ke titik yang berbentuk dan bernilai manusiawi.
Teknologi mendapat status teramat penting dalam upaya progres tersebut. Itu berarti, kedatangan teknologi modern tentu saja diperuntukan bagi, seperti yang ditulis Susskind berikut ini:
… did away with slavery, raised the status of women and children, made social welfare a reality, and put freedom from hunger and insecurity within everyone’s reach… do away with all the remaining barbarities, including war, once all men are free from want.[5]
Akan tetapi, satu soal segera muncul ketika ide kemajuan menjadi semata-mata sebagai kemajuan material (material progress). Kemajuan material ini tentu saja berhubunganan dengan sistem atau ideologi ekonomi kapitalisme. Kembali ke kerangka humanisme di atas, pertama-tama harus dilihat bahwa progres material ini pun secara ideal ditujukan untuk menciptakan kebaikan dalam masyarakat.
Namun, siapa dapat menyangka semakin kencang badai bertiup semakin jauh pula malaikat sejarah (modernisme) dari swargaloka. Badai apakah itu? Tak ada jawaban yang tuntas mengenai itu. Satu catatan dari Susskind tentang fenomena Amerika coba dikutip lagi di sini sebagai bahan perbandingan:
The Civil War (1861-1865) had brought on an industrial development that took off in a laissez-faire atmosphere of almost no government regulation (or even income-tax), creating huge private fortunes and a society that far from egalitarian. It was the time of great political and economic strife, punctuated by recurring financial crises…which was followed by a drop in agricultural prices that ruined thousands of farmers and small proprietors who could not keep up payments on mortgages taken on when prices had been high.[6]
Catatan panjang Susskind di atas dapat menjadi obor bagi kita untuk mencari jawaban atas pertanyaan mengenai kondisi historis yang memungkinkan suatu sistem teknokrasi muncul dalam masyarakat. Keadaan Amerika yang dilukiskan oleh Susskind tersebut jelas memunculkan utopia, yaitu gagasan alternatif untuk perubahan dan cita-cita mengenai suatu masa depan yang lebih baik.
Tentang utopia ini, nama-nama seperti Edward Bellamy dan Thorstein Bunde Veblen patut dicermati. Bellamy melalui sebuah novel romantiknya yang berjudul Looking Backward memproklamirkan utopianya, yaitu, suatu masa depan Amerika seperti berikut:
There is complete equality of income in his classless society and all means production are in the hands of state… The state is a strong, highly centralized institution without any soft ideas about democracy; political parties are abolished and the government is run by state-appointed managers, while the rest of the working force is organized into a disciplined Industrial Army… (suatu) “managerial” society.[7] 
Senada dengan itu, Veblen, seorang akademisi mengemukakan Amerika bahwa di masa depan adalah “a society reorganized on sound enginerring principles, run by professional managers”. Bagi Veblen, itulah cara yang pantas bagi pengaturan masyarakat atau negara Amerika. Veblen bahkan pada satu titik justru menolak intervensi politisi dalam masyarakat. Society would become a self-administered industrial organization in which there was no need for politicans. Masyarakat hanya diatur atau dikelolah oleh engineers dan techinicians yang disebutnya the General Staff of industrial system.
Utopia Bellamy dan Veblan tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa teknokrasi adalah cara tepat untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di Amerika seperti yang ditunjukkan oleh Susskind dalam kutipan di atas. Utopia ini cukup wajar karena masalah-masalah seperti krisis keuangan serta kebangrutan ribuan petani dan proprietor kecil terjadi di saat keadaan Amerika yang caos dan praktik laissez-faire. Terkhusus utopia Veblan telah memicu sebuah gerakan sosial. Teknokrasi yang digagas oleh Veblan segera menjadi:
A social movement that sought to put a system of optimum idustrial production and distribution controlled by technicians in place of the capitalist price system.[8]
Fenomena Amerika ini setidaknya memberikan gambaran bagi kita bahwa teknokrasi digagas dengan suatu cita-cita manusiawi, yaitu untuk mencapai suatu masyarakat yang stabil dan berkeadilan.
Bagaimana di Indonesia? Teknokrasi di Indonesia sudah ada sejak masa kolonialisme. Teknorasi di masa itu tentu saja berbeda dengan teknokrasi utopis a la Bellamy dan Veblan di atas. Teknokrasi bukanlah suatu sistem pengaturan oleh negara agar masyarakat/negara terhindar dari krisis ekonomi tetapi teknokrasi di sana adalah sistem di mana kaum kolonial melakukan kontrol terhadap semua proses sosial (bukan saja ekonomi!).[9]
Karena satu-dua alasan, pembahasan paper ini difokuskan pada masalah praktik teknokrasi yang diselenggarakan oleh rezim Orde Baru. Kita berangkat dari sebuah jargon bahwa Orde Baru adalah koreksi total atas Orde Lama. Orde Lama, sebagaimana diketahui adalah orde yang sarat dengan pertikaian politik yang menyebabkan kemiskinan, keterlantaran dan kemelaratan hidup bagi rakyat banyak. Negara disibukkan dengan berbagai konflik dan urusan politik, baik dalam negri mau pun di dunia internasional sehingga melupakan urusan lain seperti pembangunan ekonomi.
Orde Baru tentu saja tidak mau mengulangi kesalahan Orde Lama. Oleh karena itu sejak awal, rezim ini memusatkan seluruh potensi negara dan masyarakat pada pembangunan ekonomi. Untuk mencapai suatu economic progress yang memadai maka suatu sistem teknokrasi diperlukan. Di situ, tampak bahwa teknokrasi yang dibangun Orde Baru memiliki kesamaan nuansa dengan teknokrasi utopis Bellamy dan veblan di atas.
Akan tetapi, amatlah riskan jika kita tetap bersandar di situ semata, terutama karena teknokrasi Orde Baru tidak pernah menuntaskan krisis negara ini, bahkan sebaliknya memperparah keadaan. Mimpi kemakmuran tak kunjung datang, malah negri ini harus menuai badai karena sistem teknokrasi yang di dalamnya dijabat oleh para profesional  bermental bobrok. Tidak hanya itu, teknokrasi ini pun membawa dampak lain yang lebih menakutkan, yaitu terciptanya kebodohan secara masif karena pendidikan tidak lagi diadakan untuk mencerdaskan bangsa tetapi semata-mata untuk menciptakan “manusia Indonesia yang siap pakai.” Seperti yang akan kita lihat lebih jauh dalam kritik terhadap teknokrasi di bawah nanti, akal/rasio orang-orang sekolahan diarahkan hanya sebagai sarana bagi proses pembangunan industrial-kapitalistik. 
Kritik Terhadap Teknokrasi
Kita coba berpijak pada konsep rasionalitas instrumental-bertujuan yang dikemukakan Weber. Konsep ini berdiri tegak di atas suatu konstitusi humanisme renaissance bahwa subjek (manusia) adalah makhluk yang rasional, otonom dan mampu memprakarsai tindakannya. Namun, semakin otonom subjek semakin penting pula kriteria sarana dan tujuan. Dengan demikian konstitusi ini segera diredusir sehingga berbunyi seperti ini: “setiap subjek manusia adalah aktor yang sadar di dalam menentukan sarana sekaligus tujuan dari setiap tindakannya.” Isitilah lainnya adalah rasionalitas teknis. Sampai di situ, konsep rasionalitas subjektif atau instrumental dari Horkheimer[10] akan membantu kita memahami untuk memahami tema ini lebih jelas. Rasionalitas subjektif/instrumental ini adalah rasionalitas yang berorientasi pada kegunaan. Setiap tindakan aktor selalu memperhitungkan apakah tindakan itu berguna atau tidak berguna. Dengan kata lain, tindakan itu selalu saja memperhitungkan efisiensi sarana dan efektivitas tujuan. Di luar itu, non sense. Akibat yang paling mendasar dari rasionalitas jenis ini adalah bahwa rasio/akal pada suatu titik hanya menjadi sarana semata bagi sesuatu di luar dirinya. Rasio/akal dengan demikian tidak memiliki lagi tujuan pada dirinya.





Sosiologi Antara Teknokrasi Dan Idiologi

Disusun Guna Memenuhi Tugas Sosiologi Pengetahuan

Dosen Pengampu ;
Bpk. Lalu Darmawan
Disususn Oleh ; Panji Siyamto (09540019)


PRODI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USULUDDIN
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2011



[1] Lawan dari istilah tersebut (antonim) adalah praxis yang oleh Aristoteles diartikan sebagai kekuatan untuk membangun bios politikos, kehidupan bersama dalam rangka polis. Lih. Pengantar Franz Magnis-Suseno dalam Jurgen Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, LP3ES, Jakarta, 1990, hlm. X

[2] Bahwa mendapatkan hak adalah legitimasi maka istilah lain yang bersinggungan dengan teknokrasi dalam artian ini adalah legitimasi teknokratis. Yang dimaksud dengan legitimasi teknokratis adalah klaim seseorang atau sekelompok orang sebagai diri yang berhak memerintah sebuah negara atau masyarakat karena memiliki kemampuan teknis.Selain itu kita mengenal legitimasi theokratis dan legitimasi demokratis. Tentang ini, lih. Franz Magnis Suseno, Diskursus Demokrasi di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1990.

[3]  Susskind, Charles, Understanding Technology, Vakils, Feffer and Simon Private LTD, Bombay, 1975, 97

[4]  Konsepsi ini segera menjadi jelas hanya dengan menempatkannya sebagai counter-dominasi (-hegemoni) Gereja di Eropa pada Abad Pertengahan
[5]  Susskind, Charles, Ibid, hlm. 93

[6]  Ibid. hlm. 94

[7]  Ibid. hlm. 95
[8]Ibid. hlm 97

[9] Pengadaan sekolah bagi kaum inlander oleh Pemerintahan Kolonial Belanda agar dapat memenuhi kebutuhan akan tenaga teknis industri dan perkantoran dapat menjadi bukti tentang itu.

[10] Horkheimer mempertentangkan rasionalitas jenis ini dengan sebuah rasionalitas jenis lain yaitu rasionalitas objektif yaitu rasionalitas yang universal dengan sistem komprehensif; suatu rasionalitas yang tidak hanya memperhitungkan sarana tetapi juga semua dimensi manusia dan alam, termasuk tujuan pada dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar